BANTAR GEBANG – Warna hitam mungkin cocok untuk pakaian elegan atau mobil sport, tapi tidak untuk air di aliran RW 02, Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi.
Warga di sana kini menatap aliran air yang berubah menjadi lautan kopi basi pekat, berbau, dan jauh dari kata segar.
Dugaan kuat, “kopi alam” ini disponsori oleh sebuah pabrik penggilingan limbah plastik yang tampaknya lebih lihai menggiling aturan ketimbang limbah.
Ketua RW 02, Icang, bukan cuma resah ia sudah hampir putus asa. “Airnya hitam, keruh, dan baunya nyengat banget. Tiap pabrik nyala, aliran air langsung berubah warna,” ujarnya dengan nada yang entah antara khawatir atau sudah lelah berharap.
Masalahnya bukan baru kemarin sore. Menurut warga, fenomena air got beraroma industri ini sudah berlangsung lama, tapi belakangan semakin parah. “Dulu masih agak abu-abu, sekarang sudah level espresso,” seloroh salah satu warga sambil menutup hidung.
Ironisnya, sebagian warga di wilayah hilir masih memanfaatkan aliran air itu untuk kebutuhan sehari-hari bukan karena tidak tahu risikonya, tapi karena pilihan lain sama-sama getir. Air bersih di sana seperti janji pejabat: sering disebut, jarang datang.
Selain merusak pemandangan dan menciptakan parfum edisi limbah industri, cairan hitam itu juga menimbulkan ancaman nyata bagi kesehatan.
Bau menyengat dari arah sungai sudah cukup untuk membuat siapa pun kehilangan selera makan, bahkan untuk mi instan sekali pun.
“Kami butuh tindakan nyata, bukan sekadar datang foto-foto terus hilang,” tegas Icang. Ia berharap dinas terkait tidak hanya mengirimkan surat teguran, tapi benar-benar memastikan pabrik nakal itu berhenti mencemari lingkungan.
Masalah seperti ini sebetulnya bukan cerita baru di Bantargebang daerah yang sudah akrab dengan aroma “eksotik” dari gunung sampah TPST. Hanya saja, kini warga seperti mendapat bonus tambahan: aroma limbah plastik yang menyatu dengan udara pagi.
Kalau dibiarkan, bukan tak mungkin nanti Bantargebang dikenal bukan hanya karena tumpukan sampahnya, tapi juga karena inovasi warna airnya yang “berani tampil beda”.
Di tengah derasnya kampanye Bekasi Hijau, air hitam di Sumur Batu jadi potret kecil tentang ironi besar: kota yang ingin bersih, tapi membiarkan pencemarnya tetap beroperasi. Dan seperti biasa, warga hanya bisa menunggu entah solusi nyata, atau setidaknya, masker gratis.***