Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
SEPUTAR DAERAH

Warung Bu Indah: Tempat di Mana Nasi, Senyum, dan Kasih Sayang Masih Satu Paket Promo

0
×

Warung Bu Indah: Tempat di Mana Nasi, Senyum, dan Kasih Sayang Masih Satu Paket Promo

Sebarkan artikel ini
Kantin bu Indah, jadi penolong dompet mahsiswa - foto Den

METRO BEKASI – Kampus Universitas Sains Indonesia (USI), ada satu tempat yang lebih legendaris dari ruang dosen dan lebih ramai dari jadwal sidang skripsi yakni Warung Bu Indah.

Warung ini sudah seperti oase bagi dompet mahasiswa tempat di mana Rp10 ribu masih punya kuasa, dan nasi hangat terasa seperti pelukan ibu kos yang jarang ada.

Example 300x600

Setiap hari, antrean di depan warung itu bisa menyaingi antrean KRS online saat sistem error. Mahasiswa dari berbagai fakultas datang dengan wajah yang sama: lapar tapi berharap tetap hemat.

Ada yang datang dengan niat makan, ada juga yang datang sekadar menghirup aroma sambal terasi dan berharap kenyang lewat udara.

“Kalau bukan karena Bu Indah, mungkin saya sudah makan mie instan rasa air mata,” kata Raka, mahasiswa semester enam yang sudah tiga kali memperpanjang masa studi, tapi belum pernah memperpanjang tagihan makan di warung itu.

Memang, harga di Warung Bu Indah seperti belum tersentuh inflasi. Dengan uang receh sisa print tugas, mahasiswa bisa mendapatkan sepiring nasi, sayur, sambal, dan lauk yang anehnya masih enak.

“Pokoknya, akhir bulan enggak perlu panik. Dompet boleh tipis, tapi perut tetap optimis,” ujar Sinta, mahasiswa ekonomi yang sepertinya lebih sering menghitung porsi nasi daripada teori makro.

Ketika ditanya apa rahasianya bisa menjual makanan murah tapi tetap lezat, Bu Indah hanya tersenyum kalem.

“Ah, enggak ada rahasia khusus, Nak. Saya cuma ingin membantu para mahasiswa. Mereka itu seperti anak-anak saya sendiri. Kalau mereka kenyang dan senang, saya juga ikut senang,” ujarnya sambil menuang sayur asem dengan tangan cekatan seperti ninja dapur.

Katanya, bahan-bahan ia pilih sendiri setiap pagi. Segar, sederhana, tapi penuh niat baik. Satu sendok rasa, dua sendok kasih sayang.

Tidak heran, banyak mahasiswa yang makan di sana merasa seperti pulang ke rumah, minus omelan ibu soal nilai IPK.

Warung Bu Indah bukan sekadar tempat makan ini semacam pusat gravitasi sosial kampus.

Di sinilah mahasiswa saling curhat, menyusun strategi skripsi, atau sekadar membahas politik sambil rebutan tempe goreng terakhir.

Dan di setiap obrolan itu, Bu Indah hanya tersenyum dari balik etalase, seolah tahu jika mahasiswa bisa tertawa di tengah tanggal tua, berarti nasi saya masih bekerja.

Bagi banyak mahasiswa USI, Bu Indah bukan cuma penjual nasi beliau manajer gizi dan harapan hidup mahasiswa rantau. Warungnya jadi saksi bisu perjuangan akademik dari masa orientasi sampai wisuda.

Dan ketika ditanya, sampai kapan ia akan terus berjualan, Bu Indah menjawab singkat sambil menepuk sendok sayur,”Sampai anak-anak saya semua lulus, Nak. Termasuk kamu.”

Seketika, sambal yang pedas terasa agak berbeda entah karena cabai, atau karena haru.

Warung Bu Indah membuktikan satu hal, di zaman di mana kebaikan sering dikonversi jadi konten, masih ada orang yang tulus memberi tanpa kamera.

Bahwa bahagia itu sederhana asal lauknya dua, sambalnya cukup, dan harganya tetap bersahabat.***