BANDUNG – Revitalisasi Situ Ciburuy, Kabupaten Bandung Barat, resmi berjalan. Dampaknya? Puluhan rumah dan tempat usaha di bantaran situ dibongkar demi mengembalikan fungsi ekologis dan daya tampung air.
Namun Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), mencoba menenangkan warga dengan “obat penawar sementara” dana kontrakan rumah selama setahun.
“Beri saya waktu untuk mencari solusi permanen. Sementara, warga akan kami kontrakkan rumah selama setahun,” ujar KDM saat menemui warga, Minggu (21/9/2025).
Kontrak rumah setahun itu jelas bukan solusi akhir, hanya “ruang tunggu” sambil Pemprov Jabar mencari lahan baru yang layak untuk sekitar 12 keluarga terdampak langsung pembongkaran.
Menurut KDM, pembongkaran ini adalah harga yang harus dibayar demi mengembalikan fungsi Situ Ciburuy. Warga pun diminta rela menyingkir dari lahan yang sejak lama mereka tempati.
“Situ harus kembali ke fungsi awalnya. Terima kasih untuk warga yang bersedia bangunannya dibongkar,” kata KDM, dengan nada seperti orang baru saja menerima donasi, padahal warga harus kehilangan tempat tinggal.
Kepala Desa Ciburuy, Firmansyah, mengakui mayoritas warga sudah menerima kebijakan itu. Meski begitu, mereka masih punya satu permintaan sederhana: ongkos pindah.
“Warga intinya menerima, tapi mereka minta ada kebijaksanaan pemerintah untuk biaya kepindahan,” ujar Firmansyah.
Karena ya, mari jujur: bongkar rumah itu tidak hanya soal hilangnya atap, tapi juga ongkos pindah, ongkos sewa, bahkan ongkos untuk sekadar membeli paku di rumah baru.
Kepala Dinas Sumber Daya Air Jabar, Dikky Ahmad Sidik, menegaskan revitalisasi ini bukan sekadar proyek estetika. Situ Ciburuy yang seharusnya mampu menampung 25 hektare air, kini hanya efektif 15 hektare.
“Selain pembongkaran bangunan, kita juga akan mengeruk situ agar daya tampung kembali normal,” jelasnya.
Kontrakan Setahun, Lalu Apa?
Kontrakan setahun mungkin terdengar manis di telinga, tapi setelah itu? Apakah warga akan dikontrakkan lagi, atau dibiarkan mencari nasib sendiri?
Revitalisasi memang penting, tapi jangan sampai warga jadi “kolateral” yang dikemas dengan istilah manis: relokasi, normalisasi, penataan. Bagi warga, istilah itu artinya sederhana: rumah hilang, hidup harus diulang.***