JAKARTA – Dalam rangka meningkatkan kapasitas anggotanya LMK PAPPRI telah mengadakan satu rangkaian kegiatan tiga hari yang dilaksanakan sejak tanggal 16 sampai dengan 18 September 2025 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Agenda tiga hari ini meracik dua menu sekaligus: Workshop AI dalam industri musik dan sertifikasi kompetensi profesi musik. Kombinasi antara “ketakutan musisi dilibas robot” dengan “legalitas pengakuan negara” yang katanya bisa bikin tenang hati para seniman.
Ketua LMK PAPPRI, Johnny Maukar, menyebut AI sebagai revolusi. “AI bisa jadi peluang besar, tapi juga ancaman serius bagi musisi,” ujarnya. Satirnya, di luar ruangan workshop, sudah beredar gosip: “Kalau AI bisa bikin lagu, jangan-jangan bisa juga rebut royalti.”
Ayu Soraya, salah satu pengurus, menegaskan acara ini digelar hybrid. “Supaya musisi di luar Jakarta juga bisa ikut—meski mereka cuma bermodal kuota internet, bukan tiket pesawat.”
Masuk hari kedua, peserta disuguhi Pelatihan Berbasis Kompetensi (PBK), yang diakhiri dengan Uji Kompetensi pada 18 September. LMK PAPPRI menggandeng Lembaga Sertifikasi Musik Indonesia (LSPMI) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Mila Rosa, Manajer Mutu LSPMI, menegaskan sertifikasi ini bukan sekadar selembar kertas, tapi “pengakuan negara atas kompetensi.” Satirnya, musisi yang sudah belasan album pun tetap diuji—karena di mata birokrasi, pengalaman panggung tanpa sertifikat itu “belum sah”.
Ada lima skema sertifikasi: Pencipta Lagu, Penyanyi, Musisi, Juri Musik, dan Aranger. Jadi kalau nanti ada ajang pencarian bakat, jurinya bisa pamer: “Saya sudah tersertifikasi, bukan sekadar sok tahu.”
Sebanyak 100 peserta ikut sertifikasi ini. Tampak wajah-wajah familiar: Ikang Fauzi, Reynold Panggabean, Endang S Tourina, hingga Fryda Luciana. Bayangkan, musisi yang sudah punya jam terbang internasional kini duduk di kursi ujian—mungkin sambil bergumam, “Ujian SMA aja udah lewat, kenapa masih dites lagi?”
Namun begitulah dunia musik modern: tak cukup hanya punya suara emas, tapi juga harus punya stempel resmi dari negara.
Workshop ini jadi semacam pesan moral di era AI, musisi jangan cuma khawatir lagunya diplagiat robot, tapi juga harus belajar bersahabat dengan teknologi. Dan tentu saja, punya sertifikat supaya kalau nanti robot bikin lagu, setidaknya ada bukti bahwa manusia masih sah sebagai pencipta asli. ***